Mereview Ulang Buletin Minhaj Edisi 22
Judul : NIKAH KASTA=PAKSA
Rubrik : Gaya Hidup
Oleh : RKH. Moh. Tohir Abdul Hamid.
You are what you wear. Anda adalah apa yang anda pakai. Adigium ini memang relative sebagaimana konsep Albert Einstein. Tidak mesti memang seseorang yang menggunakan jubah –misalnya- adalah seorang alim yang berwawasan tinggi. Karena di Arab sana bahkan tukang sampah saja menggunakan Gamis lengkap dengan ikat kepalanya. Namun bagaimanapun juga yang tampak secara lahiriah sedikit banyak memang menunjukkan apa yang tidak tampak. Katakanlah, adigium di atas boleh dijadikan justifikasi terhadap pengaruh fenomena terhadap nomena. (pola pikir inilah yang telah menjadi sugesti mayoritas).
Secara umum, sebelumnya ada dua konsep atau gaya dalam sistem ekonomi dunia, kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme adalah system yang terbuka dan liberal. Dimana seseorang dipersilahkan mempunyai kekayaan atau aset tak terbatas selama masih dalam koridor hokum yang telah disepakati bersama (legal formal). Pemerintah dan pemegang otoritas hanya menjadi semacam “wasit” yang memastikan segala peraturan formal ditepati. Sedangkan sosialisme adalah system yang lebih tertutup. Paradigmanya-pun adalah pemerataan. Di mana pemerintah menjalankan peran “orang tua” yang membagi adil jatah pada seluruh anak-anaknya. Dalam praktiknya, sosialisme lebih hati-hati terhadap persaingan bisnis negara asing atau global.
Kedua system ini mempunyai plus-minus masing- masing. Sosialisme dalam satu sisi memang terkesan lebih “fair”. Tidak ada gap yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin (seperti di Vietnam yang rumah penduduknya disamakan semua). Pemerintah juga lebih mudah untuk “mengatur” kehidupan masyarakatnya (termasuk juga gaya hidup). Hanya saja hal seperti itu akan “mengebiri” kebebasan bermasyarakat dan membunuh kreatifitas dalam banyak hal yang merupakan salah satu asas dalam hak asasi manusia (human right).
Kapitalisme sendiri memang nampak lebih populer. Sistem yang dipakai mayoritas negara di dunia ini memang menawarkan banyak keunggulan secara kasat mata. Pasar yang bergairah, perekonomian yang tumbuh signifikan (seperti China yang mengalami booming luar biasa sejak pindah dari sistem ekonomisosial menuju kapital), pertumbuhan industri yang luar biasa (karena adanya stimulus) membuat system ini dinilai lebih efektif dan efisien untuk diterapkan diberbagai macam negara. Hanya saja, kapitalisme membawa “anak kandung” yang bernama hedonisme. Hedonisme atau terjemahan bebasnya “foya- foya” adalah gaya hidup glamor yang dimungkinkan terjadi dengan sistem kapitalis yang liberal itu. Bagaimanapun ketika menggunakan paradigma kapitalis yang di mana pemilik modal (capital) adalah penentu segalanya, kita akan cenderung berpandangan praxis pragmatis (melihat yang tampak oleh mata saja) atau fenomenologis. Belum lagi gap yang ada antara si miskin dan si kaya yang semakin lama akan semakin besar (seperti di Indonesia). Dan ujung-ujungnya, hal seperti itu akan menciptakan gaya hidup yang juga cenderung berorientasi pada kebendaan belaka dan kurang “berkenan” tentang nilai-nilai yang tidak tampak seperti moral dan etika berbangsa (nomena).
Dalam empiriknya, negara- negara penganut madzhab kapitalisme lambat laun mulai mengeluh tentang hedonisme ini. Mereka pada umumnya sangat puas dengan sistem itu dari ranah ekonomi dan bisnis. Hanya saja mereka sangat khawatir tentang dampak atau konsekuensi logis dari kapitalisme itu sendiri (hedonisme). Lalu ketika ditanya tentang fenomena ini, seorang ekonom senior dunia yang juga penasehat presiden USA mengatakan bahwa sistem kapitalis masih yang terbaik dari yang ada (dengan paradigma “bebasnya” itu). Hanya saja harus diimbangi dengan politik yang baik. Karena bagi beliau, seharusnya politik itu kembali pada tugas sucinya yaitu menjadikan masyarakat bermoral. Jadi, silakan melakukan apa saja dalam ekonomi selama masih dalam koridor yang diperbolehkan, tapi politik haruslah mampu untuk menjaga hal negative dari sistem kapitalisme itu sendiri.
Sementara itu ada satu system lagi yang banyak dilupakan oleh sebagian besar dari kita (termasuk muslim sendiri) yaitu system ekonomi syariah (Islam). Yang mana paradigma yang digunakan adalah penyatuan utuh (integritas) antara dunia usaha, bisnis, sosial, dan Agama. Dalam kata lain “silakan anda melakukan apa saja dalam dunia ekonomi (tentu saja selama tidak menyalahi legal formal), silahkan anda menjadi orang sekaya apapun, tapi jangan pernah melupakan siapa anda sebenarnya. Jangan melupakan kewajiban anda (seperti infaq, zakat, dll) sebagaimana anda tidak melupakan hak-hak anda”. Tidakkah system syariah ini mirip dengan solusi sang pakar tadi? Sebelum anda bertanya, disini saya tidak akan membahas tentang hukum ekonomi. Saya bukan orang yang ahli dibidang itu. Hal diatas adalah sekedar pengenalan secara global tentang bagaimana sebuah gaya hidup bisa terbentuk. Walaupun bukan satu-satunya faktor determinan, saya pikir hal diatas cukup mewakili semua hal tersebut. Dan tentu saja akan juga mengena dengan pokok pembahasan kita, gaya hidup.
China dan India adalah dua negara yang sudah mempergunakan madzhab kapitalisme dalam ranah ekonomi, dan mereka puas atas hasilnya. Akan tetapi mereka juga memperkuat “tujuan suci” politiknya guna membentuk peradaban warganya dengan cara mempertahankan tradisi secara kuat dan konsisten. Bagi orang China dan India, kebudayaan luar (dalam hal ini barat/western) adalah sebuah pelengkap semata. Tidak ada yang lebih utama bagi mereka selain budaya lokal yang mereka punyai. Jepang malah melangkah lebih maju lagi. Selain mempertahankan, mereka juga berhasil “menjual” kebudayaannya kepada dunia global lewat berbagai media. Adanya Naruto, Conan Edogawa, Pokemon (ngga pake “thok”) dan sejenisnya merupakan gambaran riil akan hal itu. Walaupun ketiga negara contoh tadi tidak serta merta terbebas oleh “penjajahan” kebudayaan (yang naga-naganya mempengaruhi gaya hidup), mereka relatif berhasil “mengendalikan” kapitalisme. Dan Indonesia? Ini dia masalahnya.
Gaya hidup masyarakat kita luar biasa. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim (bahkan terbesar sedunia), gaya hidup kita “agak jauh” dari Islam. Penerimaan kita secara mentah-mentah terhadap kapitalisme dan ekonomi liberal dengan segala konsekuensinya membuat kita cenderung melihat segala sesuatu dari yang tampak saja (fenomena bukan nomena). Apa yang tidak? Pondok pesantren saja kini secara perlahan namun pasti telah juga berpikiran “praktis pragmatis”. Kalau dulu kedudukan kiai diukur oleh seberapa mampu beliau menguasai ilmu (teori) dan amal (empiris) kini justru relative ditakar dengan hal kebendaan. Seorang kiai akan dianggap “besar” kalau dia mengendarai kendaraan mewah terbaru yang built-up. Atau dengan fisik bangunan pesantrennya yang megah dan luas. Atau juga dengan koneksi politiknya yang “menggurita”. Kalau di pesantren saja sudah seperti itu, bagaimana dengan masyarakat “awam” lainnya?
Pola pikir praktis pragmatis bawaan kapitalisme ini cenderung berbahaya. Seorang calon legislative yang membutuhkan dana banyak untuk lolos menjadi legislator (karena masyarakatnya sudah sangat pragmatis) cenderung akan korupsi bukan? Pun demikian dengan kepala daerah, gubernur, dan bahkan presiden. Dan ketika paradigma “kebendaan” ini terus dipertahankan, maka kita akan melihat seseorang, sesuatu, atau bahkan semuanya dari yang hanya kelihatan oleh mata kita. Korupsi adalah rejeki! Sedangkan yang ditahan hanyalah karena apes saja! Tidakkah itu memprihatinkan? Dan jangan-jangan besok mereka sudah tidak percaya lagi pada akhirat sebagaimana umat-umat lampau karena sifatnya yang tidak kelihatan itu? Waduh.
Terlepas dari itu semua, ada satu hal lagi yang akan hilang dari pola pikir di atas (yang pada akhirnya mengerucut pada gaya hidup), matinya sebuah keadilan! Dengan hedonisme, orang yang terbaik adalah yang paling “cool”, paling kaya, paling berkuasa. Wanita yang terbaik adalah yang paling cantik, seksi, kaya! Sangat transaksional...(hee).
Di mana keadilan jika kacamata kebenaran adalah hal seperti itu? Karena sebagaimana yang kita tahu, manusia dan modalnya itu ada dua. Pertama yang bersifat eksternal. Dalam hal ini yang saya maksudkan adalah apa yang kita tidak bias “mengintervensinya” seperti fisik dan faktor keturunan (hereditasi). Gambarannya, mana ada sih orang yang diberikan hak option oleh Tuhan tentang jenis wajah yang akan dia miliki? Kedua adalah yang bersifat internal. Hal ini kita bisa dan harus mengintervensinya semaksimal mungkin. Otak, ilmu, pola pikir, dan prilaku adalah wujud nyata dari yang kedua ini. Nah, jika seseorang yang terbaik diukur dengan instrument yang pertama, lalu lagi-lagi dimana keadilan itu sendiri? Sesuatu yang tidak logis. Bahkan jika itu sudah menjadi sugesti mayoritas! al-Quran sendiri juga dengan tegas mengatakan bahwa yang terbaik adalah yang paling bertaqwa, dan itu faktor yang kedua. Pun demikian, hal inilah yang juga membedakan Islam dengan Agama lain yang menggunakan paradigma kasta. Dan jujur, saya insya Allah tidak termasuk orang yang bermasalah dengan modal pertama tadi (secara, manis dan menarik), namun tetap saja saya merasa semua hal itu keliru. Lagi pula ini bukan tentang saya, tapi semuanya.
BERSAMBUNG